Cerita perjalanan saya masih tidak jauh-jauh dari Kepulauan Togean, tempat liburan akhir semester saya febuari silam. Kesannya tidak pernah habis sampai saat ini, kekuatan daya tarik alam dan kehidupan di dalamnya seolah-olah membuat saya tidak bisa melupakannya.
Baca cerita sebelumnya di : Keindahan Atas dan Bawah Laut Pulau Taupan
Berawal dari kunjungan kami ke Taupan untuk snorkeling dan menikmati pantai di salah satu sudut pulau. Pulau Taupan memang menjadi rekomendasi Pak Mukhlis yang adalah warga asli Togean dan juga “bos” dari Poyalisa Cottage. Ternyata benar, semuanya baik pemandangan bawah laut dan pantainya sangat keren.
Setelah asyik menikmati laut, kami beristirahat sejenak sambil mengambil foto-foto. Kami sudah bersiap untuk pulang kembali ke Poyalisa tetapi Pak Ambi memberitahukan saya bahwa ada danau air tawar di tengah pulau,
“Mau kesana gak mas? Sekalian lihat perkampungan Bajo disana..”,
“Boleh, yang mana yang bagus aja”, jawab saya.
Perahu bergerak perlahan karena ombak yang cukup banyak, dan dari kejauhan sudah kelihatan deretan rumah panggung di atas laut. Ternyata lokasinya persis dibalik pantai yang baru saja dikunjungi. Semakin dekat semakin terlihat wujud aslinya, hanya ada sekitar 15 rumah dengan satu dermaga kecil. Lalu perahu mulai merapat tapi bukan di dermaga, kami merapat di dekat rumah penduduk yang ternyata juga teman dari Pak Ambi.
Namanya saya lupa, yang jelas dia hanya memakai celana pendek dan sebatang rokok yang tertambat di mulutnya. Dengan ramah menyambut kami, tapi ada sedikit kebingungan, mungkin mereka berpikir “ada apa wisatawan kesini?”. Memang sebenarnya ini bukan kampung wisata seperti perkampungan Bajo di Pulau Papan. Sempatlah kami berbincang, bertanya tentang darimana asalnya dan bagaimana cerita tinggal di Pulau Taupan.
Ada hal yang menarik dari perbincangan itu, dia sebetulnya berasal dari Gorontalo, orang tuanya adalah orang Gorontalo dan Sulawesi Tengah. Jadi, orang yang tinggal di rumah panggung sebagai nelayan di Kepulauan Togean tidak semua orang Bajo,
“oh, saya kira semua nelayan yang tinggal di rumah panggung ini orang Bajo, pak”, sahut saya,“Iya, bukan hanya orang Bajo saja, tapi banyak dari suku lainnya dari Sulawesi”. jawab beliau.
Kami pun melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menuju tujuan kami, danau air tawar. Tidak banyak orang yang kami temui, suasana terasa agak sepi, mungkin ini sedang jam istirahat mereka.

Sewaktu melintas dermaga ada sesuatu yang menarik perhatian saya, tumpukan jala ikan, dan tali pancing yang berukuran besar. Tali pancing yang berwarna putih besar sepertinya untuk memancing ikan yang besar bukan?
Lantas saya bertanya, ” Itu yang tali pancing warna putih buat nangkep ikan apa?”,
Pak Ambi langsung menjawab, “Oh, itu biasanya buat nangkep hiu”,
“Hiu itu mahal, makanya nelayan juga nyari hiu buat dijual siripnya, harganya bisa jutaan”, Pak Ambi menambahkan.
Apa?? Bukannya hiu sudah tidak boleh ditangkap lagi? Bahkan kalau tidak salah sudah ada undang-undangnya yang melarang perbuatan itu. Pak Ambi pun katanya sudah tahu mengenai itu, mungkin saja para nelayan juga sudah tahu bahwa itu sudah dilarang, atau bisa jadi mereka belum tahu apa-apa karena tidak adanya sosialisasi. Aduh, berarti pemerintah kerjanya hanya membuat UU saja tanpa menjalankan UU tersebut dengan baik, mudah-mudahan saya salah.
Lokasi danau air tawar hanya berjarak sekitar 50 meter dari bibir pantai. Pada saat melewati tempat yang tepat dibelakang deretan rumah panggung, suasana berubah, dari yang sebelumnya asri dan bersih menjadi kotor dan tidak enak dipandang. Banyak sampah yang mengambang tak beraturan, air laut yang “terkurung” seperti kumpulan comberan yang menunggu untuk dibersihkan.
Sedih rasanya tidak ada penyuluhan maupun kesadaran untuk menjaga laut agar tetap layak ditinggali hewan laut.Sebelum sampai di danau, kami melewati sebuah bangunan tidak besar yang tampaknya habis di terjang roket. Awalnya kami tidak mengenali bangunan apa ini.
“Ini adalah sekolah SD Negeri Taupan”, ujar Pak Ambi dengan nada tak bersemangat seperti sebelumnya.
Kami pun tercengang, kaget dengan apa yang tadi dikatakan. Baru kali ini lah kami melihat realita pendidikan di daerah terpencil yang selama ini hanya melihatnya lewat berita. Bangunannya tidak besar seperti sekolah pada umumnya, terdiri dari 3 ruangan kelas untuk belajar.
Dilihat dari dalam, langit-langitnya sebagian sudah roboh, kursi dan meja terlihat berserakan dan tidak layak untuk dipakai. Tanah dan pasir sepertinya sudah menguasai permukaan lantai kelas, papan tulis sudah tidak berada ditempat yang seharusnya. Kalau suka menonton film horror, mungkin sekolah ini cocok dijadikan syuting film horror, mengerikan!
Kami semua terdiam, tidak dapat berkata apa-apa. Yang keluar dari mulut hanyalah “Bagaimana mungkin ini bisa terjadi di daerah kaya begini?”.
Kata Pak Ambi, kegiatan belajar dan mengajar sudah beberapa waktu tidak berjalan. Muridnya hanya sekitar 10 orang dengan guru yang hanya 1 orang, ternyata salah satu guru yang pernah mengajar disitu adalah Pak Mukhlis. Mengapa tidak berjalan normal lagi saya tidak tahu, pasti ada satu dan dua masalah.
Akhirnya kami sampai di danau air tawar. Danaunya sangat indah, luasnya kira-kira sebesar lapangan bola biasa. Sungguh ajaib ciptaan Tuhan, bisa-bisanya ada danau air tawar di tengah pulau kecil ditengah lautan. Ini bukanlah danau ubur-ubur seperti Danau Mariona, danau ini airnya jernih dan merupakan sumber air tawar untuk perkampungan di Pulau Taupan. Danau ini juga dipakai untuk budidaya ikan tawar dan udang dibalik batu.

Suasana di pinggir danau sangat tenang, angin sepoi-sepoi dan bunyi gesekan dahan pohon seperti menyegarkan kembali pikiran pesimis melihat kenyataan di pulau ini. Heran, di lokasi “surga dunia” seperti ini kok bisa terjadi kondisi yang memprihatinkan. Miris, itulah kata yang tepat diucapkan.

Hari sudah semakin sore dan kami mulai berjalan kembali ke kapal untuk pulang. Diperjalanan melewati rumah penduduk, orang-orang banyak mulai terlihat keluar dari rumahnya. Ibu-ibu menggendong anak kecilnya, para nelayan yang sedang membereskan peralatan memancingnya, dan anak-anak melompat ke laut untuk bermain.
Tidak lupa ibu saya memberikan snack yang dibawanya untuk dibagikan ke anak-anak, mereka tampak saling berebut seperti belum pernah mencicipinya.
“Terima kasih bu, nanti datang lagi kesini ya”, ucap ibu yang senang sekali diberi makanan. Senyuman yang terlihat dari wajah mereka seakan-akan menggugah hati saya untuk bersyukur.
“Kalau bisa bu, nanti satu waktu balik kesini untuk pelayanan masyarakat, yah hanya sekadar bantu-bantu”, kata Pak Ambi.
Ini menjadi pengalaman paling berharga yang kami terutama saya dapatkan selama travelling di Togean. Ternyata ada sisi lain dari suatu keindahan, ternyata Togean juga memiliki sisi lain selain dari pesona alam yang mungkin malah dilupakan oleh wisatawan.
Itulah salah satu kelebihan kalau jalan-jalan menjelajah negeri ini, kita bisa tambah mengenal wajah-wajah Indonesia, mencintai, dan menjaganya!
Let’s Explore and Care About the Beauty of Indonesia!
-The Spiffy Traveller-
Gilak. Seru banget ini tempatnya! Nampak seru ngobrol sama warga kampung sana di atas dek kayu, pagi-pagi, sambil ngopi. Ga penasaran ikut liat nangkep hiu? Sekali lagi, gilak! Pasti seru di sana :))
LikeLiked by 2 people
kasian sama sekolahnya 😦
LikeLiked by 2 people
gini ini kalo dr pendidikan aja dicuekin gimana mau maju negara 😭. Jadi sedih lihat sekolah-sekolah yang ada di Pelosok
semacam dianak tirikan dan gak merdeka 😭.
LikeLiked by 2 people
Iya ya, gimana mau maju industri pariwisata kita 🙂
LikeLike
Kasihan banget kak, jadi pengen membantu mereka..tapi itu juga tanggung jawab pemerintah
LikeLike
Pengennya gitu mas Iyos, tapi ngeri dan gak tega ngeliat hiu dibunuh 😦
LikeLike
ngiris ya .. lihat kondisi kebersihan dan pendidikan disana … seharusnya memang dipikirkan program ekonomi dan kesejahteraan yang bisa memaksimalkan sumber alam yang dimiliki sehingga mengangkat derajat kehidupan mereka, sehingga tidak perlu membunuh hiu. Dan sekaligus menyadarkan mereka betapa pentingnya pendidikan untuk masa depan anak2 mereka.
LikeLiked by 2 people
Benar sekali, dengan pendidikan yang memadai pasti masyarakat juga akan sadar mengenai lingkungan, pariwisata, dll 😀 dan yang diuntungkan juga kita semua termasuk pemerintah juga.
LikeLike
suka ama tempatnya jo
LikeLike
Pengalaman seru mas ya…hmm, berkumpul bareng anak2 dan bagi-bagi snack. Aku penasran sama penampakanya danau mariona 😀 . Keren ya?
LikeLiked by 2 people
Seru banget karena baru pertama kali mengalami itu. Danaunya keren banget, suasananya seperti berada di dunia lain a.k.a surga dunia hehe
LikeLike
aku iri aku pengen hufttt
LikeLiked by 2 people
Yuk kesana jelajahin Sulawesi Tengah 😀
LikeLike
Aku sedih liat bangunan sekolahnya 😦 huhuhu
LikeLiked by 2 people
Sedih memang melihat realita di pelosok negeri
LikeLike
Duh gedung sekolah itu…. speechless…Apa iya selalu begini sekolah-sekolah di daerah terpencil yah…
LikeLiked by 2 people
Kemungkinan selalu begini kak, makanya dengan traveling ke pelosok Indonesia wawasan kita semakin terbuka 😀
LikeLike
Duh sedih ya liat gedung sekolahnya
LikeLiked by 2 people
Hmmm sayang pemandangan yang indah di sana tidak didukung dengan sekolah yang cukup mumpuni.. sedih lihatnya mas..
LikeLiked by 2 people
iya sayang banget..gimana mau maju ya..
LikeLike
banget kak, baru kali itu lihat sekolah sebegitu rusaknya
LikeLike
Tempatnya bagus ya
Sayang sekolahnya tidak ada yg merawat
LikeLiked by 2 people
Iya, sayang banget ya..padahal indah sekali
LikeLike